Tambang-Hutan dan Perkebunan-Laut Pesisir

Selasa, 11 Oktober 2011

Menyabung Nyawa Demi Timah


Menyelam
Menyelam
KBR68H - Demi segenggam timah, para penambang liar di Bangka-Belitung menyelam ke dasar laut dengan alat bantu nafas dari mesin kompresor. Udara untuk angin ban kendaraan ini mengisi paru-paru mereka selama beberapa jam di dalam air. Aktivitas pertambangan timah liar ini sudah berlangsung belasan tahun. Korban jiwa terus berjatuhan tanpa perhatian serius dari pemerintah setempat. Reporter KBR68H Pebriansyah Ariefana datang langsung melihat cara kerja petambang liar timah di Pulau Bangka.



Cara Kerja Tambang Liar
Siang itu Mahdi menghidupkan mesin pompa di atas jermal di lepas pantai Rambak, Sungailiat, Bangka Belitung. Mahdi adalah satu dari puluhan penambang timah bawah laut di daerah itu.
Dihidupkannya mesin pompa menjadi penanda, kalau perburuan pasir timah di dasar laut Bangka dimulai. Mahdi yang kini berusia 40-an tahun itu sudah delapan tahun menggeluti pekerjaannya menambang timah di laut Bangka.
Sambil berdiri di atas bagan apung berukuran 2 kali 3 meter Mahdi menjelaskan cara kerja menambang timah di dasar laut. Tubuh kami tergoyang karena ombak yang terus menghantam bagan yang hanya terbuat dari papan dan tong.
“Ada mesin, kompresor, ada juga ulir. Sebelum nambang biasanya... sebelum kerja kita kontrol peralatan biar semua sudah oke baru mulai operasi. Kalau kita kerja doang, namanya juga kita di dalam air kan takut ada apa-apa.”
Menyiapkan kompresor
Menyiapkan kompresor
Untuk mendapatkan pasir timah, Mahdi harus menyelam ke dasar laut yang dalamnya mencapai belasan meter. Ia bertugas mengatur posisi selang besar yang terhubung ke mesin penyedot pasir laut ke dalam bak besar di atas jermal kayunya.
“Kalau nggak ada timah yah kita cari lagi. Kadang-kadang sehari itu 10 lobang. Kadang 5 lobang, tergantung adanya timah. Kalau semua sudah disedot. Kan di atas ada orang, kawan. Kalau ada timah dia kasih kode. Bervariasilah tergantung ada orangnya. Kalau gak ada timah, kita lama di dalamnya. Inikan nggak dalam.”
Mahdi harus menyelam selama 4 jam untuk memastikan semua pasir terhisap. Selama itu, Mahdi hanya mengandalkan udara dari kompresor untuk bernafas. Udara itu mengandung karbon-monoksida, bukan oksigen. Udara tersebut adalah angin yang biasa dipakai untuk memompa ban kendaraan bermotor.
“Dia kalau nggak ada angin nggak bisa menyelam. Angin kalau kecil kita nggak bisa nyelem, nafas kita sesak, jadi harus standar. Kalau anginnya kosong, sedikitlah yah nggak besar, nanti penyelam itu pernafasannya terganggu. Cuma kalau orang baru-baru itu merasa sakit di telinga. Di telinga itu memang merasa sakit kalau orang baru-baru. Sakitnya kayak ditekan, sakit sekali itu. Kalau sudah sakit kita menelan ludah sendiri, baru dia keluar angin dari hidung. Pleenngg, plong kita. Cuma kesulitannya kalau kita lagi sakit, kayak pilek itu jangan dipaksa karena bisa keluar darah dari hidung.”
Setelah pasir berhasil tersedot ke atas perahu, dua rekan kerja Mahdi mulai memilah-milah pasir timah. Mereka mengayak pasir tersebut sambil disemprotkan air. Pasir laut yang berwarna putih akan kembali mengalir jatuh ke laut. Sedangkan pasir yang berwarna hitam akan tetap berada di atas bak penampungan. Pasir itu adalah pasir timah.
Mahdi menjelaskan ciri-ciri timah yang bagus, “Dia agak halus. Bervariasilah, ada yang bagus itu kasar biru. Ini kalau harga tinggi lumayan nih. Kalau timah Rp 80 ribu, ini bisa Rp 100 ribu nih. Kalau yang ini paling Rp 50 ribuan.”
Memilah Pasir Timah
Memilah Pasir Timah
Mahdi dan dua rekannya setiap hari melakukan pekerjaan itu dari pagi sampai sore hari. Pasir timah yang terkumpul akan dijual ke pengepul atau cukong. Setelah itu pengepul tersebut akan menjualnya kembali ke perusahaan pengolahan timah, yaitu PT Timah Indonesia.
Mahdi dan kedua rekannya sadar kalau pekerjaan mereka sangat berbahaya.
“Pernah tangan kejepit batu. Pernah kejepit, kan itu bolong, jadi tangannya kejepit batu. Kalau bisa jangan kerja kayak begini lah. Bahaya lainnya, yah tertimpa tanah, kalau saya sih belum pernah. Cuma kan kalau orang ambisi cari timah walau tanah dalam, ya itulah ambisinya tertimpa tanah dan mati. Kebanyakan sih orang merantau. Yang banyak sih orang merantau, dari Palembang, Jawa, Buton. Kalau orang asli sini gak berani lah sampai begitu nekat.”
Mahdi menambahkan, “Kalau semakin dalam itu timahnya semakin banyak. Inilah Bangka. Kalau kata orang di Bangka ini... di bawah kaki kita duit, di bawah badan kita duit, apa artinya? Kita berdiri di bawah ada timah. Kita tidur di bawah ada timah.”
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, perahu kayu motor seorang nelayan pun menjemput Mahdi dan dua temannya untuk kembali ke darat. Perburuan hari ini hanya membuahkan 5 kg pasir timah.
Bagai Kawin Siri
Praktik pertambangan timah liar di Bangka Belitung mulai marak sejak tahun 2000 ketika Bangka Belitung menjadi provinsi baru. Saat masih menjadi bagian dari Sumatera Selatan, praktik tambang timah hanya dilakukan oleh PT Timah. Peraturan mengendur dan saat ini ada sekitar 30 ribu lebih penambang timah dasar laut atau Tambang Inkonvensional Apung di perairan Bangka.
Kepala Dinas Kesehatan Bangka Belitung Hendra Kusumajaya memaparkan bahaya yang mengancam pekerja tambang timah dasar laut liar dari sisi kesehatan.
“Mereka menyelam mempengaruhi sistem indra mereka. Dengan kompresor itu bisa keracunan CO-nya, dengan menyelam tanpa dilindungi alat penyelam akan mempengaruhi telinga, matanya, kemudian pernafasan. Jadi penyakit-penyakit dekompresi itu menghinggapi mereka. Mula-mula syarafnya, pendengaran hilang. Tidak bisa jalan, lumpuh. Nah ini harus ada penanganan khusus dengan hyperbaric chamber itu.”
Sementara itu, kerusakan lingkungan akibat pertambangan timah dasar laut terlihat jelas dari udara. Dari dalam pesawat tampak warna air laut di pesisir pantai Bangka berwarna abu-abu. Itu diakibatkan pasir laut yang terurai dan menyebabkan air laut keruh. Kekeruhan itu hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai. Selebihnya air laut berwarna biru.
Direktur Walhi Nasional Berry Nahdian Furqan mengatakan kekeruhan laut itu berdampak buruk terhadap biota laut.
“Kalau ikan itu kan insangnya susah bernafas atau lainnya. Begitu juga biota-biota laut yang lain. Itu baru soal kekeruhan saja, kemudian terpaparnya zat kimia yang ada di dalam tanah. Kemudian juga dari pengolahan yang dilakukan.”
Direktur Walhi Bangka Belitung Ranto Uday melihat ada pembiaran dari pemerintah terhadap kerusakan lingkungan tersebut.
“Penetapan wilayah pertambangan sebelum izin keluar harus ditetapkan dulu ini wilayah pertambangan bukan? Sudah ada izin lingkungan belum? Semua harus melewati prosedur sebelum mendapatkan dokumen amdal. Perusahaan harus mendapatkan izin lingkungan. Izin lingkungan ini harus melewati kajian yang komperhensif. Apakah lingkungan itu bisa dibuka untuk areal pertambangan? Atau misalnya sosial ekonomi atau sosial budayanya mendukung? Jika ini dikaji dokumen amdalnya sudah bisa dikeluarkan. Artinya bisa dikeluarkan dokumen amdal. Di Bangka Belitung izin itu tidak dilakukan. Makanya aktifitas illegal di Bangka Belitung marak terjadi. Yang kami sinyalir memang bukan hanya pemerintah yang tidak berbuat apa-apa, aparat penegak hukum juga tutup mata.”
Namun Kepala Dinas Kesehatan Bangka Belitung Hendra Kusumajaya mengatakan pemerintah tidak membiarkan begitu saja penambangan liar yang terjadi.
“Ada syarat-syarat membuka tambang-tambang itu, itu sudah ada. Ada kewajiban dan ada juga syarat. Itu sudah ada semua. Tapi yang namanya rakyat luas dan liar mereka bisa saja membuka tambang-tambang rakyat itu. Lalu ditinggal begitu saja, jadi kucing-kucingan yah. Aturannya tetap ada. Mereka tak terkendali karena tanpa ijin. Dan membahayakan dirinya sendiri. Apalagi didukung oleh teknologi yang sederhana sekali yah. Jadi mereka dengan kompresor menyemprot tanah dan terjadi rongga penggalian itu. Pertama saja bisa ditimbun tanah akibat penggalian itu sendiri. Itu membahayakan mereka sendiri. Sudah ada berapa kasus yang tertimbun tanah. Jadi menggali lobang kuburannya sendiri. Tapi kita tidak bisa serta merta melarang keinginan masyarakat.”
Kembali ke Mahdi. Mahdi mengaku tidak punya pilihan selain bekerja sebagai penambang. Bahaya akan ia hadapi.
“Kita tukar pikiran saja, kata orang ilegal, kita ini kayak orang kawin sirih. Menurut agama sah, menurut pemerintah tidak sah kan. Kayak gini kan, menurut agama kita dianjurkan untuk mencari nafkah. Menurut agama halal penghasilan kita ini, tapi menurut pemerintah lain juga kan? Katanya ilegal, tapi kan kita nggak nyolong. Kalau kita kerja kan semua ada resikonya, baik di darat, di laut dan di udara.”
Hal yang sama diakui teman seprofesi Mahdi, Samsiar. Samsiar menganggap kebutuhan hidup di Bangka relatif tinggi. Dengan menambang Timah, Samsiar sudah bisa menghidupi keluarga dan membangun rumah yang nyaman.
“Kalau dulu itu susah, kerja serabutan. Kan anak sekarang sudah besar-besar. Kadang kerja kadang nggak, kalau jadi supir, dapat berapa sehari. Cuma Rp 30 ribu. Semenjak ada TI ini berubah hidup. Rumah aja dulu pakai kayu, sekarang pakai beton, biarpun kecil.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar